BAB
1
Pendahuluan
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang
menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku
kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal
(LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut
dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam
hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik
meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi
berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri
sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal dan
pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan
parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma,
dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan
umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang disebabkan oleh agen
etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal
akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa
pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus
(HSV).
BAB 5
Tinjauan Teori
5.1.
Definisi dan Etiologi Febrile Convulsion, Meningitis, Kejang dan Demam
1.1. Demam.
Demam mencerminkan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal,
yaitu diatas 37,2˚C (99,5˚F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di
hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam sangat berguna
sebagai pertanda adanya suatu proses inflamasi, biasanya tingginya demam
mencerminkan tingkatan dari proses inflamasinya. Dengan peningkatan suhu tubuh
juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri maupun virus.
Suhu tubuh normal adalah berkisar antara 36,6˚C – 37,2˚C.
Suhu oral sekitar 0,2 – 0,5˚C lebih rendah dari suhu rektal dan suhu aksila
0,5˚C lebih rendah dari suhu oral. Suhu tubuh terendah pada pagi hari dan
meningkat pada siang dan sore hari. Pada cuaca yang panas dapat meningkat
hingga 0,5˚C dari suhu normal. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam
merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas. Pada suhu di atas
42.2oC, terjadi disfungsi neuronal berupa delirium, gangguan
kesadaran dan kematian akan terjadi pada suhu sekitar 43.3oC.
Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi
berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam
disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah
masa yang pendek.
Perubahan suhu tubuh dapat disebabkan gangguan mekanisme
kontrol seperti pada:
1. Penyakit batang otak yang mengganggu pusat
termoregulator.
2. Cedera yang disertai nekrosis sel atau
inflamasi akut, karena pada keadaan ini dilepaskan pirogen berupa
interleukin-1, TNF (Tumor Necroting Factor), dan prostagladin ke dalam darah
dan bekerja pada pusat termoregulator.
3. Obat-obatan yang memengaruhi pusat
termoregulator.
4. Perubahan pelepasan panas, terutama dari
kulit (vasodilatasi, berkeringat). Perubahan suhu tubuh juga dapat diakibatkan
oleh pajanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim.
1.2. Kejang.
Kejang
terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat epileptogenik, sedangan lesi di serebelum dan batang otak umumnya
tidak memicu kejang.
Kejang
diklasifikasikan sebagai pasial dan generalisata berdasarkan apakah kesadaran
utuh atau lenyap. Parsial dan generalisata dibagi lagi menjadi beberapa jenis,
gambaran karakteristik kejang ditampilkan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. Klasifikasi kejang.
Klasifikasi
|
Karakteristik
|
PARSIAL
Parsial
Sederhana
Parsial
kompleks
|
Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah, fokus di satu
bagian tetapi dapat menyebar kebagian lain.
·
Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal
unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal),
autonomik (takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di
epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat).
·
Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
Dimulai sebagai kejang parsial sederhana, berkembang menjadi perubahan
kesadaran yang disertai oleh:
·
Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme
(mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju).
·
Beberapa kejang parsial kompleks mungkin
berkembang menjadi kejang generalisata.
·
Biasanya berlangsung 1-3 menit.
|
GENERALISATA
Tonik-Klonik
Absence
Mioklonik
Atonik
Klonik
Tonik
|
Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan fokal; bilateral
dan simetrik; tidak ada aura.
Spasme tonik-klonik otot; inkontinensia urin dan alvi;
mengigit lidah; fase pascaiktus.
·
Menatap kosong, kepala sedikit lunglai,
kelopak mata bergetar atau berkedip secara cepat, tonus postural tidak
hilang.
·
Berlangsung beberapa detik.
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau
tungkai, cenderung singkat
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh
(drop attacks).
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple
di lengan, tungkai, atau torso.
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan
tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai
·
Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi.
·
Dapat menyebabkan henti nafas.
|
1.3. Kejang Demam.
Kejang
tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering
terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang
ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan
infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin
terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut
melewati masa anak dan anak mungkin mengalami kejang nondemam pada kehidupan
selanjutnya.
Kejang
tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsy yang klasik.
Kejang tonik-klonk diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien
mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme
toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan
tonik kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya),
disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi
tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi
dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara
bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit;
hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah).
Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak
sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah
sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini
disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat
kejadian kejangnya.
1.4. Meningitis.
Pada gangguan ini, meninges
(selaput-selaput) otak dan sumsum tulang belakang meradang, dan biasanya
diakibatkan oleh agen infeksi. Radang ini melibatkan ketiga membran meningeal
(lapisan selaput otak): dura meter, arachnoid dan pia meter.
Menurut
etiologinya, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai:
a.
Meningitis bakterial akut:
Insidensi meningitis bakterial
adalah 5-10 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Dan diperkirakan 2.000
kematian dilaporkan setiap tahun*. Bakteri penyebabnya bervariasi
menurut usia pasien dan faktor-faktor lain. Kira-kira 70% kasus terjadi pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Meningitis neonatus didapat selama
keluarnya janin melalui jalan lahir. Organisme penyebab yang sering ditemukan
pada jalan lahir ibu adalah Escherichia
coli dan Streptococcus agalactiae
(kelompok B streptokokus).
Pada anak-anak hingga usia 5 tahun,
patogen yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Haemophilus influenzae. Pada remaja, Neisseria meningitidis (meningococcus) merupakan penyebab
tersering. Streptococcus pneumoniae
(pneumokokus) menyebabkan meningitis pada semua kelompok usia. Listeria monocytogenes dan bakteri gram
negatif merupakan penyebab yang penting pada usia lanjut, pasien debil, dan
pasien yang mengalami penurunan kekebalan.
b.
Meningitis virus akut:
Meningitis virus memiliki insidensi
10.000 kasus setiap tahunnya dan 90% terjadi pada pasien yang berusia kurang
dari 30 tahun**. Penyakit ini merupakan penyakit yang ringan, tidak
ganas, dan jarang menyebabkan kematian. Penyebab tersering adalah enterovirus,
virus mumps, dan virus
koriomeningitis limfositik (LCM). Meningitis akut terjadi pada 10% pasien yang
menderita HIV, paling sering saat terjadi serokonversi.
c.
Meningitis tuberkulosis:
Penyakit yang tipikal kronis; akan
tetapi, pada stadium awal dapat terjadi fase eksudatif yang menyerupai
meningitis akut.
d.
Penyebab lain:
Jamur Cryptococcus neoformans, Histoplasma, Blastomyces, dan Candida albicans dapat menyebabkan
meningitis pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun. Amuba yang hidup
bebas adalah genera Naegleria dan Acanthamoeba, jarang menyebabkan
meningitis piogenik.
5.2. Patofisiologis Demam, Kejang,
Febrile Convulsion dan Menengitis
A.
Patofisiologi Demam
Suhu
tubuh kita diatur oleh sebuah “mesin khusus”
pengatur suhu yang terletak di otak tepatnya di bagian hipotalamus tepatnya
dibagian pre optik anterior (pre = sebelum, anterior= depan) Hipotalamus sendiri merupakan bagian dari deinsephalon yang merupakan
bagian dari otak depan kita (prosencephalon).Hipotalamus dapat dikatakan sebagai mesin pengatur suhu (termostat tubuh) karena disana
terdapat reseptor (penangkap, perantara) yang sangat peka terhadap suhu yang lebih dikenal dengan nama termoreseptor (termo = suhu). Dengan
adanya termorespetor ini, suhu tubuh dapat senatiasa berada dalam batas normal yakni sesuai dengan suhu inti tubuh. Suhu inti tubuh merupakan
pencerminan dari kandungan panas yang ada di dalam tubuh kita. Kandungan panas didapatkan dari pemasukan panas yang berasal dari
proses metabolisme makanan yang masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya suhu inti berada dalam batas 36,5-37,5°C.Dalam berbagai aktivitas
sehari-hari, tubuh kita juga akan mengelurakan panas misalnya saat berolahraga. Bilamana terjadi pengeluraan panas yang lebih besar
dibandingkan dengan pemasukannya, atau sebaliknya maka termostat tubuh itu
akan segera bekerja guna menyeimbangkan suhu tubuh inti.Bila
pemasukan panas lebih besar daripada pengeluarannya, maka termostat ini akan
memerintahkan tubuh kita untuk melepaskan panas tubuh yang
berlebih ke lingkungan luar tubuh salah satunya dengan mekanisme berkeringat.Dan bila pengeluaran panas melebihi pemasukan panas, maka
termostat ini akan berusaha menyeimbangkan suhu tersebut dengan cara memerintahkan otot-otot rangka kita untuk berkontraksi(bergerak) guna
menghasilkan panas tubuh. Kontraksi otot-otok rangka ini merupakan mekanisme dari menggigil.Contohnya, seperti saat kita berada di
lingkungan pegunungan yang hawanya dingin, tanpa kita sadari tangan dan kaki
kita bergemetar (menggigil). Hal ini dimaksudkan agar tubuh kita
tetap hangat. Karena dengan menggigil itulah, tubuh kita akan memproduksi
panas.Hal diatas tersebut merupakan proses fisiologis (keadaan
normal) yang terjadi dalam tubuh kita manakala tubuh kita mengalamiperubahan
suhu.Lain halnya bila tubuh mengalami proses patologis (sakit).
Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh “zat toksis (racun)” yang masuk kedalam
tubuh.Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan
(inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri
sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan
yang mengancam keadaan fisiologis tubuh.Proses peradangan
diawali dengan masuknya “racun” kedalam tubuh kita. Contoh “racun”yang paling
mudah adalah mikroorganisme penyebab sakit.Mikroorganisme (MO)
yang masuk ke dalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO
tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya yakni dengan memerintahkan “tentara pertahanan tubuh” antara lain berupa leukosit,
makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit).Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengelurkan
“senjata” berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya
interleukin 1/ IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi.
Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel
hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk mengeluarkan
suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar dengan
adanya bantuan enzim fosfolipase A2.Proses selanjutnya
adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu
pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran
prostaglandin pun berkat bantuan dan campur tangan dari enzim siklooksigenase
(COX). Pengeluaran prostaglandin ternyata akan
mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus.Sebagai kompensasinya,
hipotalamus selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu
tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan
mesin tersebut merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas
normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil
ini ditujukan utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak.
Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena memang “setting” hipotalamus
yang mengalami gangguan oleh mekanisme di atas inilah
yang disebut dengan demam atau febris.
B.
Patofisiologi Kejang
Untuk
mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang
didapat dari proses metabolisme.Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang
dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain
kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi ion Na rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut
maka terjadi beda potensial yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’.
Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP
ase yang terdapat di permukaan sel.
Keseimbangan
potensial membran sel dipengaruhi oleh:
1. Perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan
yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan
patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.
Pada
keadaan demam, kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%.
Jadi
pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui
membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga
dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan
neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38 C sudah terjadi
kejang, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu diatas 40 C.
C.
Patofisiologi Febrile Convulsion (Kejang Demam)
Sel neuron dikelilingi
oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion
lain, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di
luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion
di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya :
a. Perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b. Rangsangan
yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya
c. Perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak
dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38° C, sedang pada ambang kejang tinggi
baru terjadi pada suhu 40°
C atau lebih.
D.
Patofisiologi Meningitis
Meningitis
bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan septikemia,
yang menyebar kemeningen otak dan daerah medulla spinalis bagian atas.
Faktor-faktor predisposisi mencakup infeksi jalan napas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit, dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah
saraf baru, trauma kepala dan pengaruh immunologis. Saluran vena yang melalui
nasofaring posterior; telinga bagian tengah, dan saluran mastoid menuju otak
dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini menyokong perkembangan
bakteri.
Organisme
masuk kedalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan
dibawah daerah korteks, yang dapat menyebabkan thrombus dan penurunan aliran
darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat
meningen, vaskulitas dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai
dasar otak dan medulla spinalis. Radang juga menyebar kedinding membrane
ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis
intracranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah
pertahanan otak (barier otak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Bakteri
(Neiserria meningitides, Streptokokus pneumoniae dan Haemophilus Influenzae)
Infeksi jalan napas bagian atas Darah
otitis media,mastoiditis, anemia
sel sabit, hemoglobinopatis,
prosedur bedah saraf baru, trauma Radang meningen kepala dan pengaruh immunologis.
Vena yang melalui nasofaring posterior Trombus dan penurunan
Telinga bagian tengah aliran darah serebral
dan saluran mastoid Eksudat purulen
Otak dan dekat saluran vena meningen
Gangguan metabolisme
Bakteri berkembang
pada selaput otak Radang dasar otak
dan medulla spinalis
Radang dinding membran
ventrikel serebral
Meningitis
(Neiserria meningitides, Streptokokus pneumoniae dan Haemophilus Influenzae)
Infeksi jalan napas bagian atas Darah
otitis media,mastoiditis, anemia
sel sabit, hemoglobinopatis,
prosedur bedah saraf baru, trauma Radang meningen kepala dan pengaruh immunologis.
Vena yang melalui nasofaring posterior Trombus dan penurunan
Telinga bagian tengah aliran darah serebral
dan saluran mastoid Eksudat purulen
Otak dan dekat saluran vena meningen
Gangguan metabolisme
Bakteri berkembang
pada selaput otak Radang dasar otak
dan medulla spinalis
Radang dinding membran
ventrikel serebral
Meningitis
5.3. Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Fisik dan Penunjang serta Diagnosa Banding
5.3.1.
Kejang Demam(Febrile Convussion)
Gejala Klinis
Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu:
1. Kejang
Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut:
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Umumnya berhenti sendiri
- Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang
Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis sebagai berikut:
- Kejang lama, > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
1.
Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan
keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.
Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran
setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan
neurologi.
2.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala?
Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar
cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?.
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain
rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang,
kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit
pada pasien.
Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis
tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi
sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada
gangguan nervus cranial ?
Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa
pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga,
keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan
napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan
lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries
gigi ?
Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi
faring, cairan eksudat ?
Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah
pembesaran vena jugulans ?
Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah
bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah
pembesaran lien dan hepar ?
Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi
kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina,
tanda-tanda infeksi ?
Pemeriksaan
Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi :
1.
Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang (N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl
)
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2.
Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3.
Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak
ruang dan adanya lesi
4.
Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan
UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.
5.
EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak
melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.
6.
CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik
hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
Diagnosis
Banding
1.Meningitis
2.Ensefalitis
3.Abses
otak
5.3.2.
Meningitis
Gambaran Klinis
- Neonatus:
a. Gejala tidak
khas
b.
Panas
c.
Anak tampak malas, lemah, tidak mau
minum, muntah, dan kesadaran menurun
d.
Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
e.
Pernafasan
tidak teratur
- Anak umur 2 bulan – 2 tahun:
- Gambaran klasik (-)
- Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
- Kadang-kadang ”high pitched cry”
- Anak umur > 2 tahun:
- Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
- Kejang
- Gangguan kesadaran
- Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
- .Pemeriksaan Fisik
1.
kaku
kuduk (+)Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang
sedangberbaring, kemudian kepala ditekukan ( fleksi) dan diusahakan agar dagumencapai dada. Selama penekukan diperhatikan
adanya tahanan. Bilaterdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu
tidak dapat mencapaidada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat
2.
Tes
laseque (+)Untuk pemeriksaan ini dilakukan
pada pasien yang berbaringlalu keduatungkai
diluruskan ( diekstensikan ) , kemudian satutungkai diangkatlurus, dibengkokkan( fleksi ) persendian
panggulnya. Tungkai yang satu lagi
harus selalu berada dalam keadaan ekstensi ( lurus ) . Pada keadaannormal dapat dicapai sudut 70 derajat sebelum
timbul rasa sakit dantahanan. Bila
sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70derajat maka disebut tanda Lasegue positif. Namun
pada pasien yangsudah lanjut usianya diambil patokan 60 derajat.
3.
Tes
Brudzzinski (+)Tanda leher menurut Brudzinski,
Tanda tungkai kontralateral menurutBrudzinski, Tanda pipi menurut
Brudzinski, Tanda simfisis pubis menurutBrudzinski
4.
Kernig
sign (+)Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanyapada persendian panggul sampai membuat sudut 90
derajat. Setelah itutungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila
teradapat tahanan dan rasanyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat ,
maka dikatakankernig sign positif.
- Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan cairan serebrospinal:
Diagnosis pasti meningitis
dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil analisacairan serebrospinal dari
pungsi lumbal.
Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal
Tes
|
Meningitis Bakterial
|
Meningitis Virus
|
Meningitis TBC
|
Tekanan Intrakranial
Warna
Jumlah Sel
Jenis Sel
Protein
Glukosa
|
Meningkat
Keruh
>100/ml
Predominan
PMN
Sedikit
Meningkat
Normal/Menurun
|
Biasanya Normal
Jernih
<100/ml
Predominan MN
Normal/Meningkat
Biasnya Normal
|
Bervariasi
Xanthocrhomia
Bervariasi
Predominan MN
Meningkat
Rendah
|
Kontraindikasi
pungsi lumbal:
a. Infeksi kulit di sekitar daerah
tempat pungsi. Oleh karena kontaminasidari infeksi ini dapat menyebabkan
meningitis.
b. Dicurigai adanya tumor atau tekanan
intrakranial meningkat. Olehkarena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi
serebral atausereberal.
c. Kelainan pembekuan darah.
d. Penyakit degeneratif pada join
vertebra, karena akan menyulitkanmemasukan jarum pada ruang interspinal.
e. Pemeriksaan
radiologi:
f. X-foto dada: untuk mencari kausa
meningitis.
g. CT Scan kepala: dilakukan bila
didapatkan tanda-tanda kenaikantekanan intrakranial dan lateralisasi.
h. Pemeriksaan lain.
i. Darah: LED, lekosit, hitung jenis,
biakan
j. Air kemih: biakan
k. Uji tuberculin
L. Biakan cairan lambung
DIAGNOSIS BANDING
- Meningismus
- Abses otak
- Tumor otak
Test Nonne
Percobaan ini juga dikenal dengan
nama test Nonne-Apelt atau test Ross-Jones, menggunakan larutan jenuh
amoniumsulfat sebagai reagens (ammonium sulfat 80 gr : aquadest 100 ml : saring
sebelum memakainya). Test seperti dilakukan di bawah ini terutama menguji kadar
globulin dalam cairan otak.
Cara :
- Taruhlah ½ – 1 ml reagens Nonne dalam tabung kecil yang bergaris tengah kira-kira 7 mm.
- Dengan berhati-hati dimasukkan sama banyak cairan otak ke dalam tabung itu, sehingga kedua macam cairan tinggi terpisah menyusun dua lapisan.
- Tenangkan selama 3 menit, kemudian selidikilah perbatasan kedua cairan itu.
Catatan :
Seperti juga test Pandy, test Nonne ini sering dilakukan sebagai
bedside test pada waktu mengambil cairan otak dengan lumbal pungsi.
Dalam keadaan normal hasil test ini negative, artinya : tidak terjadi kekeruhan
pada perbatasan. Semakin tinggi kadar globulin semakin tebal cincin keruh yang
terjadi. Laporan hasil test ini sebagai negative atau positif saja. Test Nonne
memakai lebih banyak bahan dari test Pandy, tetapi lebih bermakna dari test
Pandy karena dalam keadaan normal test ini berhasil negative : sama sekali
tidak ada kekeruhan pada batas cairan.
Test Pandy
Reagen Pandy,
yaitu larutan jenuh fenol dalam air (phenolum liquefactum 10 ml : aquadest 90
ml : simpan beberapa hari dalam lemari pengeram 37 oC dengan sering dikocok-kock)
bereaksi dengan globulin dan dengan albumin.
Cara :
1.
Sediakanlah 1 ml reagens Pandy dalam
tabung serologi yang kecil bergaris tengah 7 mm.
2.
Tambahkan 1 tetes cairan otak tanpa
sedimen.
3.
Segeralah baca hasil test itu dengan
melihat derajat kekeruhan yang terjadi.
Catatan :
Test Pandy ini mudah dapat dilakukan
pada waktu melaukan punksi dan memang sering dijalankam demikian sebagai bedside
test. Dalam keadaan normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang
sangat ringan berupa kabut halus. Sedemikian tinggi kadar protein, semakin
keruh hasil reaksi ini yang selalu harus segera dinilai setelah pencampuran LCS
dengan reagen ini. Tidak ada kekeruhan atau kekeruhan yang sangat halus berupa
kabut menandakan hasil reaksi yang negatif.
Tabel
Perubahan cairan sserebrospinal pada infeksi susunan saraf pusat.
|
|||||
|
|||||
|
Ensefalitis
|
Meningitis
bakterialis
|
Meningitis
virus
|
Meningitis
TB
|
Abses
otak
|
Tekanan
|
Meningkat
|
Meningkat
|
Meningkat
|
Meningkat
|
Dapat
sangat tinggi
|
Gambaran Makroskopis
|
Jernih
|
Keruh
|
Jernih
|
Jernih
|
Jernih
|
Protein
|
Agak meningkat
|
Tinggi
|
Agak meningkat
|
Sangat tinggi
|
Meningkat
|
Glukosa
|
Normal
|
Sangat rendah
|
Normal
|
Rendah
|
Normal
|
Klorida
|
Normal
|
Rendah
|
Normal
|
Sangat rendah
|
Normal
/ rendah
|
Sel
|
Limfosit
atau normal
|
Neutrofil
|
Limfosit
|
Pleositosis
|
Pleositosis
|
Pewarnaan Gram
|
Negatif
|
Positif pada 90%
|
Negatif
|
Negatif
|
Kadang-kadang positif
|
Pewarnaan tahan asam
|
Negatif
|
Negatif
|
Negatif
|
Jarang positif
|
Negatif
|
Kultur bakteri
|
Negatif
|
Positif pada 90%
|
Negatif
|
Negatif
|
Kadang-kadang positif
|
Kultur mikrobakteri
|
Negatif
|
Negatif
|
Negatif
|
Positif
|
Negatif
|
Kultur virus
|
Positif pada 30% atau kurang
|
Negatif
|
Positif pada 70%
|
Negatif
|
Negatif
|
5.4. Penatalaksanaan Meningitis dan
Febrile Convulsion
5.4.1. Penatalaksanaan kejang Demam
1.1. Pengobatan Fase Akut
a. Pada
waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntah
b. Jalan
nafas harus harus bebas agar oksigenisasi terjamin.
c. Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran,suhu, pernafasan dan fungsi jantung.
d. Suhu
tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian
antipiretik.
e. Obat
yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena
atau intrarektal.
f. Dosis
diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan
dosis maksimal 20 mg.
g. Bila
kejang berhenti sebelum diazepam habis,hentikan penyuntikan, tunggu sebentar,
dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
h. Bila
diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit, gunakan diazepam
intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg).
i.
Bila kejang tidak berhenti dapat diulang
selang 5 menit kemudian.
j.
Bila tidak berhenti juga, berikan
fenitoin dengan dosis awal 10 – 20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1
mg/kgBB/menit.
k. Setelah
pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena
fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila
kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan
langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan s/d 1 tahun
adalah 50 mg dan umur 1 tahun keatas dosis awalnya adalah 75 mg secara
intramuskular. Empat jam kemudian berikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2
hari pertama dengan dosis 8 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
hari-hari berikutnya dengan dosis 4 – 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama
keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik,
diberikan secara per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200
mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan.
Bila
kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4 – 8
mg/kgBB/hari, 12 - 24 jam setelah dosis awal.
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan
lebih lanjut di ruang perawatan intensif (ICU) dengan thiopentone dan alat
bantu pernapasan.
1.2. Mencari Dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan
cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan
dokter melakukan fungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama.
1.3. Pengobatan Profilaksis
Ada
2 cara profilaksis, yaitu :
1. Profilaksis
intermiten saat demam. Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara
oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien
demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5
mg (BB < 10 kg) dan 10 mg (BB > 10 kg) setiap pasien menunjukkan suhu
lebih dari 38,5 oC. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk,
dan hipotonia.
2. Profilaksis
terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Profilaksis terus menerus
berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan
kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4 -5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus menerus
diberikan selama 1 – 2 tahun setelah kejang berakhir dan dihentikan bertahap
selama 1 – 2 bulan.
Profilaksis
terus menerus dapat dipertimbangkan bial ada kriteria (termasuk poin 1 atau 2 )
yaitu :
a. Sebelum
kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan
(misalnya serebral palsi atao mikrosefal).
b. Kejang
demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau
diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.
c. Ada
riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
d. Bila
kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila
hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.
5.4.2.
Penatalaksanaan Meningitis Bakterial
a. Cairan
Intravena
b. Atasi
kejang (penatalaksanaan kejang demam)
c. Kortikosteroid; Dexamethasone
dosis awal 0,6 mg/KgBB/hari IV selama 4 hari, 15-20 menit sebelum pemberian
antibiotika
d. Antibiotika,
terdiri dari 2 fase yaitu empirik dan setelah ada hasil biakan dan uji
resistensi. Pengobatan empirik pada 3 bulan-10 tahun kombinasi ampicillin dan
klorampenikol atau sefuroksim, diberikan selama 10-14 hari.
Antibiotika
yang digunakan untuk meningitis bakterial
Kuman Antibiotika
H.Influenza Ampicillin, klorampenikol,
sefriakson, sefotaksim
S.pneumoniae penicillin, klorampenikol,
sefuroksim, seftriakson, vankomicin
N.meningiditis penicillin,
klorampenikol, sefuroksim, seftriakson
Stafilokok nafsilin,
vankomicin,rifampisin
Gram
negatif sefotaksim,
seftazidim, seftriakson, amikasin
Dosis
antibiotik untuk meningitis bakterial
Antibiotik Dosis
Ampicillin 200-300 mg/kgBB/hari (tunggal
400 mg)
Klorampenikol 100 mg/kgBB/hari
Sefuroksim 250 mg/kgBB/hari
Sefotaksim 200 mg/kgBB/hari
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari
Seftazidim 150 mg/kgBB/hari
Amikasin 10-15
mg/kgBB/hari
Perawatan
a.
Bila penderita tidak sadar lama.
1.
Beri makanan melalui sonda.
2.
Cegah dekubitus dan pnemunia ortostatik dengan merubah posisi penderita
sesering mungkin.
3.
Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau saleb antibiotika.
b. Pada inkontinensia
urine lakukan katerisasi.
5.5. Komplikasi dan Prognosis
Meningitis dan Febrile Convulsion
5.5.1. Komplikasi
kejang demam
Kemungkinan komplikasi hemiparesis dapat terjadi pada
penderita yang mengalami kejang lama yaitu yang berlangsung lebih dari setengah
jam, baik yang bersifat umum atau fokal.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang
tanpa demam, retardasi mental dapat terjadi dengan kemungkinan 5 kali lebih
besar. Sedangkan komplikasi lain yang dapat mungkin terjadi meskipun jarang
terjadi antara lain:
- Anak jatuh atau tersedak
- Epilepsi (hanya 2%)
- Kejang demam berulang
Prognosis Kejang Demam
Dengan
penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsy berbeda-beda tergantung
dari cara penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan
Living stone (1954) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9% yang
menjadi epilepsi, dan golongan epilepsy yang diprovokasi oleh demam ternyata
97% menjadi epilepsy.
Risiko yang akan dihadapi oleh
seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari factor:
- riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
- kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila
terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang demam tanpa demam sekitar 13%, disbanding bila
hanya terdapat 1 batau tidak sama sekali factor tersebut diatas, serangan
kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.
Hemiparesis
biasannya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih
dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai kejang fokal
yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu
timbul spasitas.
Dari suatu
penelitian terdapat 431 pasien dengan kejang demam sederhana, tidak terdapat
kelainan pada IQ.tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat
gangguan perkembangan atau kelaianan neurologist akan didapat IQ yang lebih
rendah disbanding dengan saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan
terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih
besar.
5.5.2.
komplikasi meningitis
Skala jangka panjang didapat pada 30%
penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan
terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting untuk
mendeteksi skala.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli,
buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia, kejang
kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan,
atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada
20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi komplikasi
audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat menganggu
perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan
perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan
sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi
untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.
prognosis
Penderita dengan penurunan kesadaran
memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang
dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae
neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae,
L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih
tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang
disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh
inang.
5.6. Upaya Preventive Pada Keluarga
Korban serta Peran Keluarga
1.
Primary
Prevention ( pencegahan primer )
a. Health
Promotion
Adalah
tindakan atau upaya kesehatan yang dilakukan pada saat masyarakat atau individu
masih dalam keadaan sehat.
b. Specific
Protection
a.1.
Melakukan imunisasi spesifik.
a.2.
Pemberian makanan khusus.
a.3.
Perlindungan terhadap ancaman penyakit alat kerja.
a.4.
Perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat karsiogenik.
a.5.
Melindungi dan menghindari zat-zat allergen.
2.
Secondary
Prevention ( pencegahan sekunder )
a. Early
diagnosis dan Prompt Treatment
a.1. Upaya penemuan
kasus secara aktif dan pasif.
a.2. Survey Kesehatan
a.3. Screening Survey
a.4. Pemeriksaan
selektif dan priodik
b. Disability Limiation
(ketidakmampuan yang terbatas)
b.1. Pengobatan atau
melakukan terapi akut
b.2. Menekan munculnya
komplikasi
3.
Tertiary
Prevention Rehabilitation
a. Fisioterapi
b. Psikoterapi
c. Vocational
therapy
d. Social
terapi
e. Rehabilitasi
disability limitation
6.1. Penanganan
Bila menemukan gejala seperti deman n kejang, secepatnya bayi dibawa ke rumah sakit. Di sana tim dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, laboratorium yang meliputi tes darah dan X-Ray guna mendiagnosa penyakit. Dan bila mengarah pada meningitis, maka akan dilakukan pemeriksaan lumbar puncture (pemeriksaan cairan selaput otak).
Umumnya penderita akan diberikan
antibiotik sesegera mungkin dan dirawat sekitar 10-14 hari. Pengobatan panjang
itu dilakukan guna mencegah komplikasi atau mencegah infeksi datang kembali.
Pada kasus berat, diperlukan perawatan intensif di UGD dan ketersediaan
ventilasi udara untuk membantu pernapasan.
6.2. Tindakan Terbaik : Vaksinasi!
Mengingat meningitis dapat berakibat kematian atau cacat, maka sangat penting untuk dilakukan tindakan PENCEGAHAN sedini mungkin. Ya, meningitis dapat dicegah dengan vaksinasi IPD (Invasive Pneumococcal Disease) atau pneumokokus. Vaksin ini diberikan pada bayi/anak sebanyak 4 kali yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15 bulan.
Bayi yang telah divaksinasi IPD akan terlindungi dari serangan (invasi) pneumokokus ke dalam darah, paru, dan otak, sekaligus secara tidak langsung dapat melindungi keluarganya dari serangan serupa. Pasalnya, penularan meningitis bisa terjadi melalui percikan ludah saat bersin, batuk, atau berbicara, dari penderita kepada orang sehat.
Jadi, sangatlah penting bagi orangtua untuk tidak menunda melakukan vaksinasi pada anak. Bila ditunda hingga anak berusia satu tahun, bisa membahayakan karena meningitis lebih sering terjadi pada anak kurang dari dua tahun.
6.3. Pengendalian infeksi.
Keluarga
anak-anak dengan meningitis harus berhati-hati untuk menghindari terinfeksi.. Ini termasuk mencuci tangan setelah menyentuh
anak atau mengganti popok dan sebelum makan atau menyiapkan makanan. Peralatan
dan cangkir tidak harus dibagi, mulut anak harus ditutup selama batuk, dan anak
tidak harus mencium di mulut. Langkah-langkah ini harus dilanjutkan sampai anak
tidak lagi memiliki gejala (misalnya, demam, diare, ruam).
6.4.
Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbataaan informasi.
Tujuan
: Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria
hasil:
6.4.1.
Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
6.4.2.
Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
6.4.3.
Keluarga mentaati setiap proses keperawatan.
6.5. Intervensi :
6.5.1.
Kaji tingkat pengetahuan keluarga
Rasional
: Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran
informasi yang didapat
6.5.2.
Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang
Rasional
: penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan
keluarga
6.5.3.
Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan
Rasional
: agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
6.5.4.
Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang,
antara lain :
a.
Jangan panik saat kejang
b.
Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
c.
Kepala dimiringkan.
d.
Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke
mulut.
e.
Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai
keadaan tenang.
f.
Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum
g.
Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama
Rasional
: sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam
mengatasi masalah kesehatan
6.5.5.
Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas
Rasional
: mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang
6.5.6.
Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan
menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak
mencetuskan kenaikan suhu
Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang
6.5.7.
Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan
kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam
Rasional
: imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang
demam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar