Jumat, 19 Juli 2013

meningitis



BAB 1
Pendahuluan

            Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).



BAB 5
Tinjauan Teori

5.1. Definisi dan Etiologi Febrile Convulsion, Meningitis, Kejang dan Demam

1.1. Demam.
Demam mencerminkan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2˚C (99,5˚F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam sangat berguna sebagai pertanda adanya suatu proses inflamasi, biasanya tingginya demam mencerminkan tingkatan dari proses inflamasinya. Dengan peningkatan suhu tubuh juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri maupun virus.
Suhu tubuh normal adalah berkisar antara 36,6˚C – 37,2˚C. Suhu oral sekitar 0,2 – 0,5˚C lebih rendah dari suhu rektal dan suhu aksila 0,5˚C lebih rendah dari suhu oral. Suhu tubuh terendah pada pagi hari dan meningkat pada siang dan sore hari. Pada cuaca yang panas dapat meningkat hingga 0,5˚C dari suhu normal. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas. Pada suhu di atas 42.2oC, terjadi disfungsi neuronal berupa delirium, gangguan kesadaran dan kematian akan terjadi pada suhu sekitar 43.3oC.
Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek.
Perubahan suhu tubuh dapat disebabkan gangguan mekanisme kontrol seperti pada:
      1.   Penyakit batang otak yang mengganggu pusat termoregulator.
      2.   Cedera yang disertai nekrosis sel atau inflamasi akut, karena pada keadaan ini dilepaskan pirogen berupa interleukin-1, TNF (Tumor Necroting Factor), dan prostagladin ke dalam darah dan bekerja pada pusat termoregulator.
      3.   Obat-obatan yang memengaruhi pusat termoregulator.
      4.   Perubahan pelepasan panas, terutama dari kulit (vasodilatasi, berkeringat). Perubahan suhu tubuh juga dapat diakibatkan oleh pajanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim.


1.2. Kejang.
            Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
            Kejang diklasifikasikan sebagai pasial dan generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Parsial dan generalisata dibagi lagi menjadi beberapa jenis, gambaran karakteristik kejang ditampilkan pada tabel 1.1.

Tabel 1.1. Klasifikasi kejang.
Klasifikasi
Karakteristik
PARSIAL


Parsial Sederhana






Parsial kompleks
Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah, fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar kebagian lain.

·         Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat).
·         Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.

Dimulai sebagai kejang parsial sederhana, berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh:
·         Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju).
·         Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata.
·         Biasanya berlangsung 1-3 menit.
GENERALISATA


Tonik-Klonik


Absence



Mioklonik


Atonik


Klonik


Tonik
Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak ada aura.

Spasme tonik-klonik otot; inkontinensia urin dan alvi; mengigit lidah; fase pascaiktus.

·         Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar atau berkedip secara cepat, tonus postural tidak hilang.
·         Berlangsung beberapa detik.

Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai, cenderung singkat

Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).

Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso.

Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai
·         Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi.
·         Dapat menyebabkan henti nafas.


1.3. Kejang Demam.

            Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin mengalami kejang nondemam pada kehidupan selanjutnya.

            Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsy yang klasik. Kejang tonik-klonk diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.

1.4. Meningitis.

            Pada gangguan ini, meninges (selaput-selaput) otak dan sumsum tulang belakang meradang, dan biasanya diakibatkan oleh agen infeksi. Radang ini melibatkan ketiga membran meningeal (lapisan selaput otak): dura meter, arachnoid dan pia meter.
Menurut etiologinya, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Meningitis bakterial akut:
Insidensi meningitis bakterial adalah 5-10 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Dan diperkirakan 2.000 kematian dilaporkan setiap tahun*. Bakteri penyebabnya bervariasi menurut usia pasien dan faktor-faktor lain. Kira-kira 70% kasus terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Meningitis neonatus didapat selama keluarnya janin melalui jalan lahir. Organisme penyebab yang sering ditemukan pada jalan lahir ibu adalah Escherichia coli dan Streptococcus agalactiae (kelompok B streptokokus).
Pada anak-anak hingga usia 5 tahun, patogen yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Haemophilus influenzae. Pada remaja, Neisseria meningitidis (meningococcus) merupakan penyebab tersering. Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) menyebabkan meningitis pada semua kelompok usia. Listeria monocytogenes dan bakteri gram negatif merupakan penyebab yang penting pada usia lanjut, pasien debil, dan pasien yang mengalami penurunan kekebalan.

b. Meningitis virus akut:
Meningitis virus memiliki insidensi 10.000 kasus setiap tahunnya dan 90% terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 30 tahun**. Penyakit ini merupakan penyakit yang ringan, tidak ganas, dan jarang menyebabkan kematian. Penyebab tersering adalah enterovirus, virus mumps, dan virus koriomeningitis limfositik (LCM). Meningitis akut terjadi pada 10% pasien yang menderita HIV, paling sering saat terjadi serokonversi.
c. Meningitis tuberkulosis:
Penyakit yang tipikal kronis; akan tetapi, pada stadium awal dapat terjadi fase eksudatif yang menyerupai meningitis akut.
d. Penyebab lain:
Jamur Cryptococcus neoformans, Histoplasma, Blastomyces, dan Candida albicans dapat menyebabkan meningitis pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun. Amuba yang hidup bebas adalah genera Naegleria dan Acanthamoeba, jarang menyebabkan meningitis piogenik.


5.2. Patofisiologis Demam, Kejang, Febrile Convulsion dan Menengitis

A. Patofisiologi Demam
Suhu tubuh kita diatur oleh sebuah “mesin khusus” pengatur suhu yang terletak di otak tepatnya di bagian hipotalamus tepatnya dibagian pre optik anterior (pre = sebelum, anterior= depan) Hipotalamus sendiri merupakan bagian dari deinsephalon yang merupakan bagian dari otak depan kita (prosencephalon).Hipotalamus dapat dikatakan sebagai mesin pengatur suhu (termostat tubuh) karena disana terdapat reseptor (penangkap, perantara) yang sangat peka terhadap suhu yang lebih dikenal dengan nama termoreseptor (termo = suhu). Dengan adanya termorespetor ini, suhu tubuh dapat senatiasa berada dalam batas normal yakni sesuai dengan suhu inti tubuh. Suhu inti tubuh merupakan pencerminan dari kandungan panas yang ada di dalam tubuh kita. Kandungan panas didapatkan dari pemasukan panas yang berasal dari proses metabolisme makanan yang masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya suhu inti berada dalam batas 36,5-37,5°C.Dalam berbagai aktivitas sehari-hari, tubuh kita juga akan mengelurakan panas misalnya saat berolahraga. Bilamana terjadi pengeluraan panas yang lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya, atau sebaliknya maka termostat tubuh itu akan segera bekerja guna menyeimbangkan suhu tubuh inti.Bila pemasukan panas lebih besar daripada pengeluarannya, maka termostat ini akan memerintahkan tubuh kita untuk melepaskan panas tubuh yang berlebih ke lingkungan luar tubuh salah satunya dengan mekanisme berkeringat.Dan bila pengeluaran panas melebihi pemasukan panas, maka termostat ini akan berusaha menyeimbangkan suhu tersebut dengan cara memerintahkan otot-otot rangka kita untuk berkontraksi(bergerak) guna menghasilkan panas tubuh. Kontraksi otot-otok rangka ini merupakan mekanisme dari menggigil.Contohnya, seperti saat kita berada di lingkungan pegunungan yang hawanya dingin, tanpa kita sadari tangan dan kaki kita bergemetar (menggigil). Hal ini dimaksudkan agar tubuh kita tetap hangat. Karena dengan menggigil itulah, tubuh kita akan memproduksi panas.Hal diatas tersebut merupakan proses fisiologis (keadaan normal) yang terjadi dalam tubuh kita manakala tubuh kita mengalamiperubahan suhu.Lain halnya bila tubuh mengalami proses patologis (sakit). Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh “zat toksis (racun)” yang masuk kedalam tubuh.Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh.Proses peradangan diawali dengan masuknya “racun” kedalam tubuh kita. Contoh “racun”yang paling mudah adalah mikroorganisme penyebab sakit.Mikroorganisme (MO) yang masuk ke dalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya yakni dengan memerintahkan “tentara pertahanan tubuh” antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit).Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengelurkan “senjata” berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya interleukin 1/ IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.Proses selanjutnya adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin pun berkat bantuan dan campur tangan dari enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin ternyata akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus.Sebagai kompensasinya, hipotalamus selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan mesin tersebut merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena memang “setting” hipotalamus yang mengalami gangguan oleh mekanisme di atas inilah yang disebut dengan demam atau febris.
B. Patofisiologi Kejang
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme.Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh:
1.      Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2.      Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3.      Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%.
Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38 C sudah terjadi kejang, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40 C.


http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/patofisiologi-kejang.jpg




C. Patofisiologi Febrile Convulsion (Kejang Demam)
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya :
a.       Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b.      Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
c.       Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38° C, sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40° C atau lebih.


D. Patofisiologi Meningitis

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar kemeningen otak dan daerah medulla spinalis bagian atas. Faktor-faktor predisposisi mencakup infeksi jalan napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit, dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh immunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior; telinga bagian tengah, dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk kedalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan dibawah daerah korteks, yang dapat menyebabkan thrombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitas dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medulla spinalis. Radang juga menyebar kedinding membrane ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intracranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier otak), edema serebral dan peningkatan TIK.


Bakteri
(Neiserria meningitides, Streptokokus pneumoniae dan Haemophilus Influenzae)

Infeksi jalan napas bagian atas Darah
otitis media,mastoiditis, anemia
sel sabit, hemoglobinopatis,
prosedur bedah saraf baru, trauma Radang meningen kepala dan pengaruh immunologis.


Vena yang melalui nasofaring posterior Trombus dan penurunan


Telinga bagian tengah aliran darah serebral
dan saluran mastoid Eksudat purulen


Otak dan dekat saluran vena meningen
Gangguan metabolisme

Bakteri berkembang
pada selaput otak Radang dasar otak
dan medulla spinalis


Radang dinding membran
ventrikel serebral

Meningitis




5.3. Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang serta Diagnosa Banding
5.3.1. Kejang Demam(Febrile Convussion)
Gejala Klinis
Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu:
1.      Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut:
    1. Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
    2. Kejang umum tonik dan atau klonik
    3. Umumnya berhenti sendiri
    4. Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2.      Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut:
    1. Kejang lama, > 15 menit
    2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
    3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
1.      Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
2.      Pemeriksaan Fisik
Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?.
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?

Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi ?
Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?

Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?
Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?
Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?

Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :
1.      Darah
Glukosa Darah              :  Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang  (N < 200 mq/dl)
BUN                         : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit                  :  K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2.         Cairan Cerebo Spinal    :    Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3.         Skull Ray                      :    Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4.         Tansiluminasi                :    Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5.         EEG                              :    Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6.         CT Scan                        :    Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.


Diagnosis Banding
1.Meningitis
2.Ensefalitis
3.Abses otak

5.3.2. Meningitis
Gambaran  Klinis
      1. Neonatus:
a.       Gejala tidak khas
b.        Panas
c.         Anak tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
d.        Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
e.          Pernafasan tidak teratur
  1. Anak umur 2 bulan – 2 tahun:
    1. Gambaran klasik (-)
    2. Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
    3. Kadang-kadang ”high pitched cry
  2. Anak umur > 2 tahun:
    1. Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
    2. Kejang
    3. Gangguan kesadaran
    4. Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
  1. .Pemeriksaan Fisik 

1.             kaku kuduk (+)Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedangberbaring, kemudian kepala ditekukan ( fleksi) dan diusahakan agar dagumencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bilaterdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapaidada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat

2.         Tes laseque (+)Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaringlalu keduatungkai diluruskan ( diekstensikan ) , kemudian satutungkai diangkatlurus, dibengkokkan( fleksi ) persendian panggulnya. Tungkai yang satu  lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi ( lurus ) . Pada keadaannormal dapat dicapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dantahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70derajat maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yangsudah lanjut usianya diambil patokan 60 derajat.

3.         Tes Brudzzinski (+)Tanda leher menurut Brudzinski, Tanda tungkai kontralateral menurutBrudzinski, Tanda pipi menurut Brudzinski, Tanda simfisis pubis menurutBrudzinski

4.         Kernig sign (+)Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanyapada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itutungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasanyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat , maka dikatakankernig sign positif.

  1.  Pemeriksaan Penunjang

1.             Pemeriksaan cairan serebrospinal:
 Diagnosis pasti meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil analisacairan serebrospinal dari pungsi lumbal.




Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal

      Tes
Meningitis Bakterial
Meningitis Virus
Meningitis TBC
Tekanan Intrakranial

Warna

Jumlah Sel

Jenis Sel

Protein

Glukosa
Meningkat

Keruh

>100/ml

Predominan PMN

Sedikit Meningkat

Normal/Menurun
Biasanya Normal

Jernih

<100/ml

Predominan MN

Normal/Meningkat

Biasnya Normal
Bervariasi

Xanthocrhomia

Bervariasi

Predominan MN

Meningkat

Rendah


Kontraindikasi pungsi lumbal:

a.    Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasidari infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.

b.    Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Olehkarena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atausereberal.

c.    Kelainan pembekuan darah.

d.   Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkanmemasukan jarum pada ruang interspinal.

e.    Pemeriksaan radiologi:

f.     X-foto dada: untuk mencari kausa meningitis.

g.    CT Scan kepala: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikantekanan intrakranial dan lateralisasi.

h.    Pemeriksaan lain.

i.      Darah: LED, lekosit, hitung jenis, biakan

j.      Air kemih: biakan

k.    Uji tuberculin

L.     Biakan cairan lambung

DIAGNOSIS BANDING
  1. Meningismus
  2. Abses otak
  3. Tumor otak
Test Nonne
Percobaan ini juga dikenal dengan nama test Nonne-Apelt atau test Ross-Jones, menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat sebagai reagens (ammonium sulfat 80 gr : aquadest 100 ml : saring sebelum memakainya). Test seperti dilakukan di bawah ini terutama menguji kadar globulin dalam cairan otak.
Cara :
  1. Taruhlah ½ – 1 ml reagens Nonne dalam tabung kecil yang bergaris tengah kira-kira 7 mm.
  2. Dengan berhati-hati dimasukkan sama banyak cairan otak ke dalam tabung itu, sehingga kedua macam cairan tinggi terpisah menyusun dua lapisan.
  3. Tenangkan selama 3 menit, kemudian selidikilah perbatasan kedua cairan itu.
Catatan :
Seperti juga test Pandy, test Nonne ini sering dilakukan sebagai bedside test pada waktu mengambil cairan otak dengan lumbal pungsi. Dalam keadaan normal hasil test ini negative, artinya : tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan. Semakin tinggi kadar globulin semakin tebal cincin keruh yang terjadi. Laporan hasil test ini sebagai negative atau positif saja. Test Nonne memakai lebih banyak bahan dari test Pandy, tetapi lebih bermakna dari test Pandy karena dalam keadaan normal test ini berhasil negative : sama sekali tidak ada kekeruhan pada batas cairan.

Test Pandy
Reagen Pandy, yaitu larutan jenuh fenol dalam air (phenolum liquefactum 10 ml : aquadest 90 ml : simpan beberapa hari dalam lemari pengeram 37 oC dengan sering dikocok-kock) bereaksi dengan globulin dan dengan albumin.
Cara :
1. Sediakanlah 1 ml reagens Pandy dalam tabung serologi yang kecil bergaris tengah 7 mm.
2. Tambahkan 1 tetes cairan otak tanpa sedimen.
3. Segeralah baca hasil test itu dengan melihat derajat kekeruhan yang terjadi.
Catatan :
Test Pandy ini mudah dapat dilakukan pada waktu melaukan punksi dan memang sering dijalankam demikian sebagai bedside test. Dalam keadaan normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang sangat ringan berupa kabut halus. Sedemikian tinggi kadar protein, semakin keruh hasil reaksi ini yang selalu harus segera dinilai setelah pencampuran LCS dengan reagen ini. Tidak ada kekeruhan atau kekeruhan yang sangat halus berupa kabut menandakan hasil reaksi yang negatif.

Tabel Perubahan cairan sserebrospinal pada infeksi susunan saraf pusat.


Ensefalitis
Meningitis bakterialis
Meningitis virus
Meningitis TB
Abses otak
Tekanan
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Dapat sangat tinggi
Gambaran Makroskopis
Jernih
Keruh
Jernih
Jernih
Jernih
Protein
Agak meningkat
Tinggi
Agak meningkat
Sangat tinggi
Meningkat
Glukosa
Normal
Sangat rendah
Normal
Rendah
Normal
Klorida
Normal
Rendah
Normal
Sangat rendah
Normal / rendah
Sel
Limfosit atau normal
Neutrofil
Limfosit
Pleositosis
Pleositosis
Pewarnaan Gram
Negatif
Positif pada 90%
Negatif
Negatif
Kadang-kadang positif
Pewarnaan tahan asam
Negatif
Negatif
Negatif
Jarang positif
Negatif
Kultur bakteri
Negatif
Positif pada 90%
Negatif
Negatif
Kadang-kadang positif
Kultur mikrobakteri
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Kultur virus
Positif pada 30% atau kurang
Negatif
Positif pada 70%
Negatif
Negatif









5.4. Penatalaksanaan Meningitis dan Febrile Convulsion

5.4.1. Penatalaksanaan kejang Demam
1.1.      Pengobatan Fase Akut
a.       Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntah
b.      Jalan nafas harus harus bebas agar oksigenisasi terjamin.                                    
c.       Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran,suhu, pernafasan dan fungsi jantung.
d.      Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.
e.       Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal.
f.       Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg.
g.      Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis,hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
h.      Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit, gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg).
i.        Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian.
j.        Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10 – 20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit.
k.      Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan s/d 1 tahun adalah 50 mg dan umur 1 tahun keatas dosis awalnya adalah 75 mg secara intramuskular. Empat jam kemudian berikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4 – 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik, diberikan secara per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200 mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran dan depresi pernapasan.
Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4 – 8 mg/kgBB/hari, 12 - 24 jam setelah dosis awal.
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan intensif (ICU) dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan.
1.2.      Mencari Dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan fungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
1.3.      Pengobatan Profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
1.  Profilaksis intermiten saat demam. Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB < 10 kg) dan 10 mg (BB > 10 kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 oC. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia.
2.  Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4 -5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah kejang berakhir dan dihentikan bertahap selama 1 – 2 bulan.
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bial ada kriteria (termasuk poin 1 atau 2 ) yaitu :
a.  Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan (misalnya serebral palsi atao mikrosefal).
b.  Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau  diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.
c.  Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
d.  Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.





5.4.2. Penatalaksanaan Meningitis Bakterial
a.    Cairan Intravena
b.    Atasi kejang (penatalaksanaan kejang demam)
c.    Kortikosteroid; Dexamethasone dosis awal 0,6 mg/KgBB/hari IV selama 4 hari, 15-20 menit sebelum pemberian antibiotika
d.   Antibiotika, terdiri dari 2 fase yaitu empirik dan setelah ada hasil biakan dan uji resistensi. Pengobatan empirik pada 3 bulan-10 tahun kombinasi ampicillin dan klorampenikol atau sefuroksim, diberikan selama 10-14 hari.

 Antibiotika yang digunakan untuk meningitis bakterial    
Kuman                        Antibiotika                    
H.Influenza                 Ampicillin, klorampenikol, sefriakson, sefotaksim                      
S.pneumoniae              penicillin, klorampenikol, sefuroksim, seftriakson, vankomicin
N.meningiditis                        penicillin, klorampenikol, sefuroksim, seftriakson
Stafilokok                   nafsilin, vankomicin,rifampisin
Gram negatif               sefotaksim, seftazidim, seftriakson, amikasin

Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial  
Antibiotik                    Dosis      
Ampicillin                   200-300 mg/kgBB/hari (tunggal 400 mg)
Klorampenikol            100 mg/kgBB/hari
Sefuroksim                  250 mg/kgBB/hari
Sefotaksim                  200 mg/kgBB/hari
Seftriakson                  100 mg/kgBB/hari
Seftazidim                   150 mg/kgBB/hari
Amikasin                     10-15 mg/kgBB/hari




 Perawatan

a. Bila penderita tidak sadar lama.
1. Beri makanan melalui sonda.
2. Cegah dekubitus dan pnemunia ortostatik dengan merubah posisi penderita sesering   mungkin.
3. Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau saleb antibiotika.

b. Pada inkontinensia urine lakukan katerisasi.




5.5. Komplikasi dan Prognosis Meningitis dan Febrile Convulsion

5.5.1. Komplikasi kejang demam
Kemungkinan komplikasi hemiparesis dapat terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama yaitu yang berlangsung lebih dari setengah jam, baik yang bersifat umum atau fokal.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental dapat terjadi dengan kemungkinan 5 kali lebih besar. Sedangkan komplikasi lain yang dapat mungkin terjadi meskipun jarang terjadi antara lain:
      1. Anak jatuh atau tersedak
      2. Epilepsi (hanya 2%)
      3. Kejang demam berulang

Prognosis Kejang Demam
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsy berbeda-beda tergantung dari cara penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan Living stone (1954) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9% yang menjadi epilepsi, dan golongan epilepsy yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsy.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari factor:
  1. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
  2. kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
  3. kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang demam tanpa demam sekitar 13%, disbanding bila hanya terdapat 1 batau tidak sama sekali factor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.
Hemiparesis biasannya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu timbul spasitas.
Dari suatu penelitian terdapat 431 pasien dengan kejang demam sederhana, tidak terdapat kelainan pada IQ.tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelaianan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar.
5.5.2. komplikasi meningitis
Skala jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi skala.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.
prognosis
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.


5.6. Upaya Preventive Pada Keluarga Korban serta Peran Keluarga

1.    Primary Prevention ( pencegahan primer )
a.       Health Promotion
Adalah tindakan atau upaya kesehatan yang dilakukan pada saat masyarakat atau individu masih dalam keadaan sehat.
b.      Specific Protection
a.1. Melakukan imunisasi spesifik.
a.2. Pemberian makanan khusus.
a.3. Perlindungan terhadap ancaman penyakit alat kerja.
a.4. Perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat karsiogenik.
a.5. Melindungi dan menghindari zat-zat allergen.

2.    Secondary Prevention ( pencegahan sekunder )
a.    Early diagnosis dan Prompt Treatment
a.1. Upaya penemuan kasus secara aktif dan pasif.
a.2. Survey Kesehatan
a.3. Screening Survey
a.4. Pemeriksaan selektif dan priodik
b. Disability Limiation (ketidakmampuan yang terbatas)
b.1. Pengobatan atau melakukan terapi akut
b.2. Menekan munculnya komplikasi

3.    Tertiary Prevention Rehabilitation
a.       Fisioterapi
b.      Psikoterapi
c.       Vocational therapy
d.      Social terapi
e.       Rehabilitasi disability limitation

6.1. Penanganan

Bila menemukan gejala seperti deman n kejang, secepatnya bayi dibawa ke rumah sakit. Di sana tim dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, laboratorium yang meliputi tes darah dan X-Ray guna mendiagnosa penyakit. Dan bila mengarah pada meningitis, maka akan dilakukan pemeriksaan lumbar puncture (pemeriksaan cairan selaput otak).
Umumnya penderita akan diberikan antibiotik sesegera mungkin dan dirawat sekitar 10-14 hari. Pengobatan panjang itu dilakukan guna mencegah komplikasi atau mencegah infeksi datang kembali. Pada kasus berat, diperlukan perawatan intensif di UGD dan ketersediaan ventilasi udara untuk membantu pernapasan.

6.2. Tindakan Terbaik : Vaksinasi!

Mengingat meningitis dapat berakibat kematian atau cacat, maka sangat penting untuk dilakukan tindakan PENCEGAHAN sedini mungkin. Ya, meningitis dapat dicegah dengan vaksinasi IPD (Invasive Pneumococcal Disease) atau pneumokokus. Vaksin ini diberikan pada bayi/anak sebanyak 4 kali yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15 bulan.

Bayi yang telah divaksinasi IPD akan terlindungi dari serangan (invasi) pneumokokus ke dalam darah, paru, dan otak, sekaligus secara tidak langsung dapat melindungi keluarganya dari serangan serupa. Pasalnya, penularan meningitis bisa terjadi melalui percikan ludah saat bersin, batuk, atau berbicara, dari penderita kepada orang sehat.

Jadi, sangatlah penting bagi orangtua untuk tidak menunda melakukan vaksinasi pada anak. Bila ditunda hingga anak berusia satu tahun, bisa membahayakan karena meningitis lebih sering terjadi pada anak kurang dari dua tahun.

6.3. Pengendalian infeksi.
Keluarga anak-anak dengan meningitis harus berhati-hati untuk menghindari terinfeksi.. Ini termasuk mencuci tangan setelah menyentuh anak atau mengganti popok dan sebelum makan atau menyiapkan makanan. Peralatan dan cangkir tidak harus dibagi, mulut anak harus ditutup selama batuk, dan anak tidak harus mencium di mulut. Langkah-langkah ini harus dilanjutkan sampai anak tidak lagi memiliki gejala (misalnya, demam, diare, ruam).

6.4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbataaan informasi.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil:
6.4.1. Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
6.4.2. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
6.4.3. Keluarga mentaati setiap proses keperawatan.

6.5. Intervensi :
6.5.1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat
6.5.2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga
6.5.3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan
Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
6.5.4. Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang, antara lain :
a. Jangan panik saat kejang
b. Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
c. Kepala dimiringkan.
d. Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut.
e. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan tenang.
f. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum
g. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan
6.5.5. Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas
Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang
6.5.6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu
Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang
6.5.7. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam
Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam







Tidak ada komentar:

Posting Komentar