BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bell’s
palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampur adukkan antara Bell’s
palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya
diketahui. Biasanya
penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada
saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia
mengalami kelumpuhan pada
wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan
kadang kala
jiwanya tertekan terutama
pada
wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk
tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah
wajahnya bisa kembali secara
normal
atau tidak. Bell’s
palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer yang belum diketahui penyebabnya, bisa
akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun
sangat mungkin akibat
edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramenstilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan.
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari
paralysis fasial akut. Di dunia,
Di Amerika Serikat insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23
kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko
29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang
sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 15-50 tahun. Sedangkan di Indonesia, insiden
Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah
Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 -30 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria.
TINJAUAN TEORI
5.1 ANATOMI
Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang
menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga hidung
dan mulut dan juga menghantar berbagai jenis sensasi dari otot-otot yang
disarafinya.Inti nervus fasialis terletak dipons.
Saraf mengintari inti nervus abdusen, dan kelenjar di bagian
lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons diantara
nervus fasialis dan nervus vestibukoklearis. Nervus fasialis bersama dengan
nervus intermedius dan nervus vestibulokoklearis kemudian memasuki meatus
akusticus internus. Di sini nervus facialis bersatu dengan nervus intermedius
dan menjadi satu berkas yang berjalan di dalam kanalis facialis dan kemudian
masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen
stilomastoideum , dan bercabang untuk mempersarafi otot-otot wajah.
Nervus Fasialis mengandungi empat macam
inti :
1.
Nukleus fasialis, saraf somatomotorik,
yang memepersarafi otot-otot wajah.
2.
Nukleus salivatorius superior, saraf
viseromotorik. Saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal dan glandula submaksiler serata sublingual dan
maksilaris.
3.
Nukleus solitaries, saraf viserosensorik
yang menghantar implus dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
Nukleus sensoris
trigeminus, saraf somatosensorik. Menghantarkan rasa nyeri, suhu dan raba dari
bagian daerah kulit dan mukosa
5.2 PENYAKIT AKIBAT LESI PADA NERVUS FASIALIS
1.
Sindrom
Moibeus adanya parese nervus fasialis bilateral yang merupakan kelainan
congenital akibat adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan seringkali
bersamaan dengan kelemahan okular.
2.
Bell’s Palsy Parese Bell merupakan lesi
nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya karena terjepit di dalam
foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan yang disebut sebagai Bell’s
Palsy.
3.
Syndroma Millard Gubler
Suatu
sindroma yang ditandai dengan paralisis N6 dan N7 yang disebabkan karena lesi
didaerah pons.
4.
Sindroma Ramsay Hunt
Suatu
infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan
otot wajah. Penyebab RHS adalah virus varisela-zoster, virus yang menyebabkan
cacar air. Setelah menyembuhkan cacar air, virus berdiam tidak aktif dalam
saraf. Bertahun-tahun kemudian, virus aktif kembali. Jika virus mengaktifkan
kembali dan menginfeksi saraf wajah, hasilnya adalah RHS.
5.3 DEFINISI BELL’S PALSY
Bell
palsy merupakan bentuk kelumpuhan wajah akibat disfungsi saraf kranial
VII (nervus fasialis) menyebabkan ketidakmampuan untuk mengontrol
otot-otot wajah pada sisi yang terkena.
5.4 ETIOLOGI
BELL’S PALSY
Bell
palsy terjadi ketika
saraf yang mengendalikan otot-otot
wajah (saraf wajah) menjadi
meradang atau dikompresi. Tidak diketahui apa yang menyebabkan saraf wajah menjadi meradang, meskipun diperkirakan bahwa virus. Virus yang telah dikaitkan dengan Bell palsy termasuk
virus yang menyebabkan:
a) Luka
dingin dan herpes genital (herpes simplex)
b) Cacar
air dan herpes zoster (herpes zoster)
c) Mononucleosis
(Epstein-Barr)
d) Infeksi Cytomegalovirus
e) Penyakit
pernapasan (adenovirus)
f) Campak
Jerman (rubella)
g) Mumps
(virus gondok)
h) Flu
(influenza B)
i)
Penyakit
tangan-kaki-dan-mulut (coxsackievirus)
Dengan
Bell palsy, saraf
yang mengendalikan otot-otot wajah,
yang melewati celah sempit dari tulang dalam perjalanan ke wajah, menjadi meradang dan bengkak. Biasanya berhubungan dengan
infeksi virus. Selain otot-otot wajah, saraf mempengaruhi
air mata, air liur, rasa dan tulang kecil di tengah telinga
Anda.
5.5 EPIDEMIOLOGI
BELL’PALSY
Di Amerika Serikat,
kejadian tahunan Bell palsy adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang. Sangat
sedikit kasus yang diamati selama bulan-bulan musim panas. Secara
internasional, insiden tertinggi ditemukan pada sebuah penelitian di Seckori,
Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah ditemukan di Swedia pada tahun
1971. Kebanyakan studi populasi umum menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30
kasus per 100.000 penduduk.
Bell palsy diperkirakan
menyumbang sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan
sisi kanan terkena 63% dari waktu. Hal ini juga dapat berulang, dengan
kekambuhan berbagai dilaporkan 4-14%. meskipun bilateral Bell palsy simultan
dapat mengembangkan, sangat jarang. Hal ini menyumbang hanya 23% dari
kelumpuhan wajah bilateral dan memiliki tingkat kejadian yang kurang dari 1%
dari itu untuk kelumpuhan saraf wajah unilateral. [28, 29] Sebagian besar
pasien dengan facial palsy bilateral memiliki sindrom Guillain-Barré,
sarkoidosis, penyakit Lyme, meningitis (neoplastik atau infeksi), atau
Neurofibroma bilateral (pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2).
Orang dengan diabetes
memiliki risiko 29% lebih tinggi dari yang dipengaruhi oleh Bell palsy
dibandingkan orang tanpa diabetes. Jadi, mengukur kadar glukosa darah pada saat diagnosis Bell
palsy dapat mendeteksi diabetes terdiagnosis. Pasien diabetes 30% lebih mungkin
dibandingkan pasien nondiabetes untuk memiliki pemulihan hanya parsial,
kekambuhan Bell palsy juga lebih umum di antara pasien diabetes.Bell palsy juga
lebih umum pada orang yang immunocompromised atau pada wanita dengan
preeklamsia.
Sex
dan demografi yang berkaitan dengan usia
Bell palsy tampaknya
mempengaruhi jenis kelamin sama. Namun, perempuan muda berusia 10-19 tahun
lebih mungkin akan terpengaruh dibandingkan pria dalam kelompok usia yang sama.
Wanita hamil memiliki risiko 3,3 kali lebih tinggi untuk terkena Bell palsy
daripada wanita hamil, Bell palsy paling sering terjadi pada trimester ketiga.
Secara umum, Bell palsy
terjadi lebih sering pada orang dewasa. Sebuah dominasi sedikit lebih tinggi
diamati pada pasien yang lebih tua dari 65 tahun (59 kasus per 100.000 orang),
dan tingkat insiden lebih rendah diamati pada anak-anak muda dari 13 tahun (13
kasus per 100.000 orang). Insiden terendah ditemukan pada orang muda dari 10
tahun, dan insiden tertinggi adalah pada orang berusia 60 tahun atau lebih.
Puncak usia antara 20 dan 40 tahun. Penyakit ini juga terjadi pada orang tua
berusia 70-80 tahun.
5.6 FAKTOR RISIKO
Bell palsy lebih sering terjadi
pada orang yang: Hamil, terutama selama trimester ketiga, atau yang berada di minggu pertama setelah melahirkan.Memiliki infeksi saluran
pernapasan atas, seperti flu atau
pilek Beberapa orang yang mengalami serangan berulang
dari Bell palsy
Memiliki riwayat keluarga serangan
berulang. Dalam kasus tersebut, mungkin ada kecenderungan genetik untuk
Bell palsy.
5.7 PATOGENESIS DAN PATOSIOLOGI BELL’S PALSY
Bell’s
palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar
sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini
pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter
bedah bernama Sir Charles Bell. Karena proses yang dikenal awam sebagai ‘masuk
angin’ atau dalam bahasa inggris ‘cold’,
nervus fasialis bisa sembab.
Gejala Bell’s palsy dapat berupa
kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba
beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan
nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada
gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya
produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf
fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam
1–7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.
Dalam mendiagnosis kelum- puhan saraf
fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral
terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi
karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan
kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.
Karena itu ia terjepit dalam foramen stilomastoideum
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan tersebut dinamakan ‘Bell’s
palsy’. Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak
dapat di kerutkan. Fissure palpebral tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk
memejam mata telihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dal platisma tidak dapat digerakkan.
Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga
tetimbun disitu.
Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan
hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen
stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut
yang ,menyarafi muskulus stapedius.
Gambar
2. Penderita Bell’s Palsy
|
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s
palsy dapat berbeda. Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan
komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat
menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s
phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air
mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.
Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan
makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan
air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di atas
persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan
menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan
menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi
terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat
melibatkan saraf kedelapan.
5.8 MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis biasanya timbul mendadak,hampir selalu
unilateral,sering kali waktu bangun tidur pagi penderita baru mengetahui
kelumpuhan otot wajah atau diberitahukan teman bahwa salah satu sudut mulutnya
rendah.Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat
penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi
saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Perasaan
nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitar nya sering
merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wa ja h berupa :
1.
Dahi
tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
2.
Kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagoftalmus).
3.
Gerakan
bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bolam atau berputar ke atas
bila memejamkan mata (elevasi), fenomena ini di sebut Bell’s sign.
4.
Sudut
mulut tidak dapat diangkat,lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh
dan mencong ke sisi yang sehat.
5.
Selain
gelaja-gejala diatas,dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara
lain: gangguan fungsi pengecap,hiperakusis dan gangguan lakrimasi.
6.
Penderita
tidak dapat bersiul atau meniup, atau bila berkumur, air akan keluar melalui
sisi mulut yang lumpuh.
5.9ANAMNESIS BELL’S PALSY
Hampir
semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa merekamenderita
stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang disampaikan adalah
kelemahan pada salah satu sisi wajah.
1.
Nyeri
post auricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid. Nyeri
sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis muncul
dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
2.
Aliran
air mata: Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit
air mata yang dapat mengalir sampai ke saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan
cairan.
3.
Mata
Kuning.
4.
kelopak mata tidak bisa menutup dengan
sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu
bagian wajah.
5.
Pada kasus yang lain juga terkadang
disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan),
telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi
mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari.
6.
Keluhan yang terjadi diawali dengan
nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi.
7.
Selain itu masih ada gejala-gejala lain
yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada
kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum
atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak
dapat dipejamkan (lagoftalmos),
waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke
atas(nistagmus). Penderita tidak
dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air liur akan keluar ke sisi melalui
sisi mulut yang lumpuh
8.
Riwayat penyakit seperti :
a. infeksi
saluran pernafasan otitis media akut
b. herpes
c. Meningitis
d. Diabetes
militus
e.
Trauma
daerah wajah
5.10
PEMERIKSAAN FISIK
BELL’S PALSY
Paralisis mudah didiagnosis dengan
pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang
perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.adapun pemeriksaan yang
dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan
gerakan dan ekspresi wajah.pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada
seluruh wajah sisi yang terkena.kemudian pasien diminta menutup mata dan mata
pasien pada sisi yang terkena memutar keatas.
2. Bila
terdapat hiperakusi,saat stateskop diletakkan pada telinga pasien maka suara
akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang
paralisis.tanda klinis yang membedakan Bell”s Palsy dengan stroke atau kelainan
yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan
saraf kranialis lain,motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal dan
pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Pemeriksaan
optalmologi terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang
lumpuh.Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga
dapat diperkirakan kesanggupan kelopak mata dalam melindungi kornea.
5.11
PEMERIKSAAN PENUNJANG
BELL’S PALSY
Bell”s Palsy merupakan
diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1. Pemeriksaan
radiologis dengan CT-Scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur,metastasis tulang,dan keterlibatan system saraf
pusta(SSP).
2. Pemeriksaan
neurofisiologi pada Bells”s Palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai
preediktor kesembuhan,bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan dekompresi
intrakanikular.Grosevaetal melaporkan pemeriksaan elektromiografi(EMG)mempunyai
nilai prognostic yang lebih baik dibanding elekttroneurografi(ENG).pemeriksaan
serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai
positive-predictive value(PPV) 100% dan negative-predictive-value(NPV)
96%.spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitude Compound
Motor Action Potential(CMAP),pemanjangan latensi saraf kranialis
3. Pemeriksaan blink-refleks didapatkan
pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.pemeriksaan blink reflex ini sangat
bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu ke lima,meski
demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.abnormalitas gelombang R2 hanya
ditemukan pada 15,6% kasus.
4. Pemeriksaan
MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu neoplasma tulang temporal,
tumor otak,glandula parotis atau untuk mengevaluasi multiple sklerosis.
Gambaran MRI pada kasus Bell’s palsy dapat berupa peningkatan gadolinium saraf
pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang
merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap.pemeriksaan
MRI digunakan untuk mengevaluasi skleosis multiple.selain itu,MRI dapat
memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
5. Tes
Schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf Petrosus dengan menilai
fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukan kerusakan
pada Greater Superficial Petrosal Nerve(GSPN) atau saraf fasialis di proksimal
ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menyebabkan terjadinya
keratitis atau ulkus pada kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami
kelumpuhan.
6. Pemeriksaan
reflex stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan
ini untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf fasialis. Terjadinya
kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna
dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep
mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar
rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan
penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy. Pada kasus Bell’s palsy dengan reflex
stapedius yang masih normal menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi
dalam 6 minggu.
7. Test
Gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf khorda timpani dengan menilai
pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin. Tes ini
sangat subjektif disamping fungsi pengecapan,khorda timpani juga berperan dalam
fungsi salivasi kita dapat menilai fungsi duktus Wharton’s dengan mengukur
produksi saliva dalam 5 menit. Bila Produksi saliva berkurang dapat diprediksi
khorda timpani tidak berfungsi baik.menurut Quinn dkk, pada kasus Bell’s Palsy
sering terdapat kepanjangan topografi saraf fasialis dimana terdapat kehilangan
fungsi lakrimasi sedangkan reflek stapedius dan fungsi pengecapan masih normal
atau dapat juga fungsi lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan, tetapi
fungsi salvias nya masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel
inflamasi dan demyelinisasi disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang
otak ke cabang perifer.
8. Pemeriksaan
darah untuk menunjukkan kenaikkan titer antibody virus varicella zoster.
5.12
PENCEGAHAN BELL’S
PALSY
Seperti disarankan oleh
Dokter Syaraf agar Bell's Palsy tidak mengenai anda, cara-cara yang bisa
ditempuh Adalah :
1.
Jika berkendaraan motor, gunakan helm
penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
2.
Jika tidur menggunakan kipas angin,
jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke
arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di
bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3.
Kalau sering lembur hingga malam, jangan
mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak
baik untuk kulit dan syaraf.
4.
Bagi penggemar naik gunung, gunakan
penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan
tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita
Bell's Palsy.
5.
Setelah berolah raga berat, jangan
langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6.
Saat menjalankan pengobatan, jangan
membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
Takut dibilang "orang aneh"? Pertimbangkan dengan biaya yang anda
keluarkan untuk pengobatan.
Penyebab Bell's Palsy, yakni angin yang
masuk ke dalam tengkorak atau foramen stilo mastoideum. Angin dingin ini
membuat syaraf di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan syaraf nomor
tujuh atau nervous fascialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut
terhenti. Hal itu menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls
atau rangsangnya terganggu. Akibatnya, perintah otak untuk menggerakkan
otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
5.13
PENATALAKSANAAN
BELL’S PALSY
Terapi
Farmakologi
Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang
sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset.
Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal
70mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering
off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang, berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh
menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy.
Penelitian mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien
yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang
hanya diterapi dengan prednisolon. Untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2
000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari,
sedangkan pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama
lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus,
namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit
kepala.
Terapi
Non-Farmakolog
Fisioterapi
a) Infra Merah
Infra
merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan fungsi, tetapi
Anda harus memastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata. Waktu
penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara 50 dan 75 cm.
b) Terapi Ultrasound
Terapi
ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve trunk) di depan tragus
telinga dan di daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula.
c)
Stimulasi
Elektrik (Electrical Stimulation)
Stimulasi listrik adalah teknik yang
menggunakan arus listrik untuk mengaktifkan saraf penggerak otot dan
ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan akibat cedera tulang belakang
(SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis lainnya. Electrical
Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan kontraksi
otot dan membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak
yang normal serta bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi
otot.
Pada kasus Bell’s Palsy ini rangsangan gerak dari
otak tidak dapat disampaikan kepada otot-otot wajah yang disyarafi. Akibatnya
kontraksi otot secara volunter hilang sehingga diperlukan bantuan dari
rangsangan arus faradik untuk menimbulkan kontraksi otot. Rangsangan
arus faradik yang dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali otot-
otot yang lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan kemampuan
kontraksi otot sesuai fungsinya.
d)
Massage
Suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan
suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan yang ditujukan pada jaringan
lunak tubuh, untuk tujuan mendapatkan efek baik pada jaringan saraf, otot,
maupun sirkulasi. Pada kasus Bell’s Palsy
teknik massage yang diberikan yaitu stroking, effleurage, finger kneading dan tapping.
Perawatan mata :
1.
Pasien disarankan melindungi matanya
dari terpaan debu dan angin secara langsung untuk menghindari terjadinya
iritasi.
2.
Kornea mata memiliki risiko mengering
dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air
mata buatan (artificial tears).
3.
Pasien diajarkan untuk melatih
gerakan-gerakan didepan kaca seperti : mengangkat alis dan mengerutkan dahi
keatas, menutup mata,tersenyum, bersiul, menutup mulut dengan rapat, mengangkat
sudut bibir ke atas dan memperlihatkan gigi-gigi, mengembangkempiskan cuping
hidung, mengucapkan kata-kata labil a,i,u,e,o minimal 4x sehari selama 5-10
menit.
Evaluasi
a) Kemampuan
fungsional dasar dengan ugo fish scale.
Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi
motorik dan mengevaluasi kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s
palsy. Penilaian dilakukan pada 5 posisi, yaitu saat istirahat,
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada tersebut dinilai
simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat. (Lumbantobing
2006).
b)
Kekuatan otot dengan MMT
Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing, Yaitu:
a)
Nilai
0 (zero) : Tidak ada kontraksi yang
tampak
b)
Nilai
1 (trace) : Kontraksi minimal
c)
Nilai
3 ( fair) : kontraksi sampai dengan sisi normal secara maksimal
d)
Nilai
5 normal : kontraksi normal, penuh,terkontrol dan simetris
1. Idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP) dan amegakaryocytic thrombocytopenic purpura
(ATP) .
Pemeriksaan darah tepi dari kedua
kelainan ini hanya menunjukan trombositopenia tanpa retikulospenia atau
granulositepenia/leucopenia. Pemerikasaan susum tulang dari ITP menunjukkan
gambaran yang normal sedangkan pada ATP tidak ditemukan megakariosit.
2. Leukemia
akut jenis aleukemik, terutama LLA (Leukemia Limfositik Akut) dengan jumlah
leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada stadium dini,
biasanya pada LLA ditemukan spleenomegali. Darah tepi sukar dibedakan, karena
kedua penyakit mempunyai gambaran yang serupa (pansitopenia dan relative
limfosotosis) kecuali bila terdapat sel blas dan limfositosis yang lebih dari
90%, diagnosis lebih cenderung kepada LLA.
3. Stadium
praleukemik dari leukemia akut. Sukar
dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi maupun susum tulang, karena masih
menunujukan gambaran anemia aplastik. Biasanya setelah 2-7 bulan kemudian baru
terlihat gambaran khas LL.
5.14
DIAGNOSIS BANDING
BELL’S PALSY
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi
sentral dan perifer.
1. Kelainan sentral dapat merupakan:
a) stroke bila disertai kelemahan anggota gerak
sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral
b) kelainan tumor apabila onset gradual dan
disertai perubahan mental status atau riwayat kanker dibagian tubuh lainnya
c) sklerosis multipel bila disertai kelainan
neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat
riwayat trauma sebelumnya.
2. Kelainan perifer yang ditemukan dapat
merupakan : Suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi
radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi;
a) Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya
tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau
pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster
b) Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan
adanya paresis bilateral dan akut;
c) Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda
patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis
okuli bilateral
d) Tumor serebello-pontin (tersering) apabila
disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII
e) Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di
wajah (angulus mandibula)
f) Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.
5.15
KOMPLIKASI
BELL’S PALSY
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami
sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi
suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan
disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia
(gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis
dapat menyebabkan
a) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang
mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari
sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata,
b) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien
keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
5.16
PROGNOSIS
BELL’S PALSY
1.
Sekitar
80-90 % penderita Bell’s Palsy mengalami perbaikan pada kekuatan otot-otot
ekspresi muka. Jika terdapat tanda-tanda kesembuhan otot wajah sebelum hari
ke-18, maka kesembuhan sempurna atau hampir sempurna diharapkan dapat terjadi.
Perbaikan kelainan yang komplit biasanya dimulai setelah 8 minggu dan mencapai
maksimal dalam 9 bulan sampai 1 tahun. Pada penderita dengan kelainan
inkomplit, perbaikan biasanya dimulai setelah 2 minggu. Kurang dari15%
penderita didapatkan gejala sisa. Hampir 80% mendapatkan perbaikannya sampai
95% atau lebih.
2.
Faktor-faktor
yang meramalkan prognosis yang baik adalah kelainan inkomplit, umur relatif
muda (kurang dari 60 tahun), interval yang pendek antara onset dan perbaikan
pertama (initial improvement) dalam 2 minggu, dan studi elektrodiagnostik yang
menunjang. Faktor-faktor yang meramalkan prognosis yang jelek adalah paralisis
total, usia lanjut (lebih dari 60 tahun), interval yang panjang antara onset
dan perbaikan (sekitar 2 bulan), dan studi elektrodiagnostik yang tidak
menunjang.
3.
Nilai
peramalan sehubungan dengan paralisis nervus fasialis (nyeri belakang telinga,
fonofobia, hilangnya pengecapan, berkurangnya sekresi air mata dan aliran
saliva) adalah tidak jelas. Tetapi kelemahan pada fungsi-fungsi ini dapat
menunjukkan luasnya degenerasi motor akson.
Terima kasih.
BalasHapusBermanfaat sekali
Training Auditor
Terima kasih.
BalasHapusBermanfaat sekali
DS
Training Auditor
kak, boleh tau daftar pustaka untuk membuat referat ini diambil darimana? saya sedang menyusun skripsi mengenai bell's palsy. terima kasih
BalasHapusMbak udah dapet daftar pustaka ny?
HapusBelum kak, nggak dibales sm penulisnya hehe. Knp? Butuh juga kah? Atau mau bantu?
Hapus-sanada
Mbak boleh tau daftar pustaka ny dari mana?
BalasHapus